Bercinta dengan Wanita Bahenol

Siapa bilang bahwa bercinta dengan wanita gemuk melelahkan dan memuakkan? Menurut saya, malahan mengasyikkan dan penuh kenikmatan. Setidaknya sesuai pengalaman saya di bawah ini.
Waktu itu hujan mulai turun rintik-rintik. Klinik 24 jam tempat saya bekerja sepi, alias tidak ada pasien yang datang. Klinik dengan TPS (Tempat Perawatan Sementara) dengan kapasitas tempat tidur 20 bed itu hanya terisi 3 orang, itu pun pasien dengan sakit ringan. Memang selama bulan ini, tingkat huniannya agak menurun. Demikian juga dengan pasien yang masuk, meskipun untuk pagi hari polikliniknya cukup baik, sekitar 30 orang yang memeriksakan. Kebetulan malam itu saya mendapat giliran jaga bersama seorang bidan, sebut saja Emi namanya.
Ketika malam mulai semakin larut dan hujan makin deras, kami seperti biasa duduk-duduk di ruang jaga perawat.
Seperti kekurangan bahan pembicaraan, saya berkata, “Emi, hujan-hujan begini enaknya ngapain ya..?”
“Enaknya ya makan-makan gorengan sambil minum kopi.” kata Emi.
“Kalau saya kok nggak, enaknya ya tidur berselimut tebal.”
“Lha ya mesti dong, tetapi itu khan kalau di rumah.”
“Tidur dimana saja juga bisa. Apalagi kalau selimutnya yang dapat kentut.”
“Lho, kalau gitu selimutnya ya harus orang..?”
“Lha iya.”
“Lalu selimutnya siapa..?”
“Kalau sekarang, ya. yang di depan saya.” sahut saya memancing.
Emi adalah bidan ‘lichting’ di bawah saya dua tahun. Kami sama-sama sekolah paramedis dari RS Cipto Mangunkusumo. Saya perawat, sedang dia bidan. Perawakannya tinggi dan tergolong gemuk. Dengan tinggi badan 168 cm dan berat badan 82 kg, terkesan profil Emi kekar dan gemuk. Meskipun demikian, keayuannya masih nyata terlihat. Wajah bulat, pipi montok, gigi putih rapih dengan bibir yang tipis sensual sanggup memancing nafsu setiap laki-laki, antara lain saya sendiri. Rambut yang dipotong cekak setinggi tengkuk, dengan kulit putih menyebabkan sejak masih menjadi siswa bidan, sudah diincar oleh seorang mahasiswa teknik sipil UI yang kini menjadi suaminya.
Sesudah menikah, suami Emi menjadi pemborong sukses. Secara material, segalanya dapat terpenuhi. Meskipun demikian, Emi tetap bekerja sebagai bidan di klinik 24 jam di bilangan Jakarta Selatan. Apalagi saat ini, setelah Emi beranak 2 orang, suaminya sudah kawin lagi, alias poligami. Emi memang harus menerima kenyataan itu, “daripada zina” katanya mencari pembenaran atas perilaku suaminya.
Seperti tersentak Emi mendengar kata-kata saya terakhir. Matanya melirik genit ke arah saya, membuat hati saya berdegup, menunggu reaksi.
“Benar Mas Narto mau..?” tanyanya menantang.
Saya mengangguk pasti.
“Ayo..!” ajaknya sambil menuju ke salah satu kamar.
Waktu itu selain kami berdua, ada seorang pembantu merangkap tukang cuci yang berdinas. Tetapi sejak jam tujuh malam sudah tidur di kamarnya.
Sampai di kamar, Emi langsung membuka seluruh pakaiannya. Lalu tubuhnya direbahkan telentang di atas bed. Tanpa menunggu lama-lama, saya membuka seluruh pakaian saya, dan langsung “terjun” ke atas kasur putih empuk, ya tubuh Emi. Bibirnya mulai saya ciumi kuat-kuat, lalu lehernya, ke atas belakang telinga. Tangan Emi memeluk leher saya erat sekali, sedang kedua tungkainya menyilang memeluk tubuh saya. Terasa kuat sekali paha yang besar dan kuat itu mencengkeram tubuh saya yang kecil dengan berat badan hanya 49 kg.
Setelah itu ciuman beralih ke daerah leher, merambat ke bawah sampai permukaan buah dadanya yang meskipun sedikit terkulai tetapi masih kencang. Saya sapukan hidung dan bibir saya ke puting susunya yang hitam kecoklatan. Tentu saja sambil tangan saya melakukan ‘kerajinan’ dengan meremas-remas buah dadanya sambil menyedot putingnya. Ciuman saya teruskan ke bawah, ke pusar, seluruh dinding perut saya ciumi, sedikit saya gigit karena gemas disertai rasa birahi yang makin memuncak. Emi sendiri terlihat memejamkan matanya.
Pada saat ciuman mendarat di tempat-tempat yang sensitif, Emi menggigit bibirnya, merasakan nikmat. Dan setiap kali saya menggigit puting susunya dengan penuh nafsu, Emi menjingkat, tetapi mulutnya berbisik, “Aduh.. Mas, enak.. ulangi Mas..!”
‘Perjalanan’ penuh berahi bibir saya sekarang sampai di daerah vagina. Karena paha Emi yang besar, wilayah ‘lubang surga dunia’ yang akan saya masuki ini terlihat sempit, tetapi timbunan lemak kulit di kanan kiri vagina itu ‘methuthuk’ (menyembul), dimana daerah sekitarnya ditumbuhi rambut yang hitam dan lebat. Saya memang termasuk ’sabar’ dalam bermain cinta. Meskipun penis saya sudah hampir 20 menit berereksi, tetapi tidak akan terjadi ejakulasi, alias sperma memancar sebelum mencapai orgasmus. Dan lagi meskipun badan saya tinggi ceking, namun penis saya mempunyai ukuran ekstra LXX, panjangnya sekitar 18 cm.
Pada saat labia mayora Emi yang menggunung dan menggemaskan itu saya ciumi sambil saya gigit-gigit dan jilati, Emi terlihat reaktif. Kecuali cengkeraman kakinya ke punggung saya yang semakin kencang, cairan vagina yang makin banyak (tanda makin meningkatnya nafsu), kedua bibirnya saling dikatupkan sambil sekali waktu digigit. Nafasnya juga terkadang berhenti beberapa detik, kemudian dadanya menarik nafas panjang. Terus ‘operasiku’ makin ke bawah. Menciumi paha kaki dan seterusnya.
Merasakan bahwa seluruh tubuhnya telah selesai dirangsang, Emi meminta sambil mengaduh, “Mas.. Mas.. Emi nggak tahan lagi Mas..! Cepet dimasukkan Mas.. Emi.. Emi.., nafsu Emi sudah nyampai di ubun-ubun Mas.. cepet ya.. Mas..!”
Saya masih saja menciumi berpindah-pindah, terkadang ke lehernya sambil menggigit-gigit bibirnya, tanganku juga terkadang mengelus lehernya, memijit kepalanya bagian belakang. Akibatnya rambut Emi terserak ke depan menutupi dahinya, matanya memperlihatkan suatu pemandangan yang menambah birahiku.
Kini penis saya sudah optimal panjangnya. Besar, panjang, keras-keras empuk seperti pentungan polisi, dengan guratan vena yang melebar, dan terasa agak hangat karena terisi darah segar yang terkumpul di dalamnya. Pelan-pelan benda penikmat itu menerobos lubang vagina yang terlihat sempit karena otot polos dinding vagina yang berkontraksi. Cairan vagina yang tumpah dan merembes keluar melicinkan panetrasi penis. Saya sengaja memasukkan penis saya pelan-pelan, kecuali memberi rangsangan kenikmatan sedikit demi sedikit juga sambil melihat reaksi sensual Emi.
Terlihat Emi menarik nafasnya dalam-dalam, dan penis saya terasa seperti tersedot. Terus.. masuk.. masuk.. dan terasa ujungnya menumbuk sesuatu. Sesuatu itu adalah portio uteri (pintu rahim) tempat yang paling sensitif di wilayah vagina bagian dalam. Dan ini dapat terjadi setelah paha Emi yang besar, berat namun putih dan halus itu saya angkat ke atas, saya letakkan di pundak saya pada sendi lutut (lipat pahanya).
Penis saya terasa diremas-remas vagina Emi, sebagai tanda pencapaian orgasmus. Mula-mula pelan-pelan, ritmis.. makin lama makin keras dengan interval yang makin cepat dan berakhir dengan cengkeraman menetap. Ini berulang kali. Dan setiap kali terjadi pencengkaraman penis saya seperti di atas, tubuh Emi menggeliat kadang menggelinjang atau membanting sambil memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Dalam kondisi seperti ini, saya jadi bangga, penuh percaya diri, seperti seorang matador yang dapat menaklukkan lawannya, kadang saya menyangga di atas lutut, tetapi kadang juga saya rebahkan tubuh saya di atas badan Emi yang makin terbasahi cairan vagina, keringat dan parfum yang teraduk menjadi satu.
Disaat merebahi tubuh Emil, bibir saya sampai ke bibir Emi, yang sekali-kali saja membuka matanya. Dan tangan saya tidak berhenti memainkan buah dadanya, meraba, mengelus-ngelus, memijat-mijat, memeras-meras, kadang dengan perasan yang keras, dengan penuh kegemasan dan birahi. Sewaktu saya menduduki perut Emi, Emi terlihat sudah tidak tahan lagi.
Sambil mencium telinga saya Emi berbisik, “Mas.. ditembakkan sekarang ya..!”
Dan dengan sepenuh kekuatan pemompaan penis saya makin saya percepat. Seperti joki yang sedang menunggang kuda, sambil memompa, saya tumbukkan perut saya ke tubuh Emi, sementara tangan saya berpegangan dan menarik-narik kedua susunya. Emi memegang l
engan saya. Nafasnya berdengus seperti nafas kuda yang sedang berlari cepat.
Posisi tubuh saya yang mendekam, menekan perutnya. Saya genjot-genjotkan (bahasa jawa: entrok-entrok), rasanya seperti memantul karena pantulan perut Emi. Rasanya Emi saya perlakukan persis seperti kuda balap. Saya seperti lupa bahwa yang saya naiki adalah tubuh seorang wanita cantik. Kepalanya yang tiap genjotan menoleh bergantian ke kanan dan ke kiri, menambah kebirahian saya. Rasanya seperti menunggangi seekor kuda betina yang liar, ganas, harus ditaklukkan.
Nafas Emi terdengar cepat disertai erangannya, “Uuhh.. uuh.. aduh.. aduh.. aduhh.. uhh.. terus.. terus.. cepat.. cepat aduhh..!”
Sementara nafas saya seolah memburunya, “Ehh.. ehh.. ehh..”
Penis saya makin saya cepatkan keluar masuknya ke vagina, dan ini meyebabkan reaksi orgasmus yang makin meninggi pada diri Emi. Akibatnya cengkeraman ke penisku juga semakin kencang, sehingga saya harus lebih kuat menarik dan memasukkannya ke vagina.
“Uhh.. uhh.. aduh.. aduh.. cepat.. cepat Mas.. aduh..!”
“Hehh.. eh.. eh.. ehh..”
Makin cepat, makin kuat.. makin cepat.. makin kuat saya menarik penis, sampai akhirnya penis saya tidak dapat bergerak lagi, seperti diikat dengan gulungan kabel baja. Berpegang kuat seperti seorang yang takut jatuh, badan Emi terlihat seperti mengejang. Disaat itulah penis saya menyemprotkan sperma, puncak kepuasan bersetubuh bagi seorang laki-laki. Badan saya, saya jatuhkan ke tubuhnya, dan lengan serta tungkai Emi memeluk tubuh saya disertai jeritan lirih. Rupanya ejakulasi saya berbarengan dengan orgasmusnya yang entah sudah keberapa puluh kalinya. Pertempuran dan pergulatan berakhir. Bila dihitung dengan skor, mungkin 40: 1 untuk kemenangan saya.
“Puas Mi..?”
Emi diam karena seperti setengah tidak sadarkan diri pada saat orgasmusnya yang sangat-sangat kuat sekali dan berhasil memaksa penis saya mengeluarkan sperma. Sejenak matanya sedikit dibuka.
“Sangat puas sekali dan ooeenak tenan..” jawabnya dengan genit, “Tetapi sebentar tambah lagi sebanyak-banyaknya sampai pagi lho Mas..!”
“Lho suamimu sekarang dimana..?” godaku memancing (suaminya memang sering ke luar kota).
“Lha ya.., yang sedang menindihi tubuh saya ini..” jawabnya disertai senyumnya yang genit.
Dalam keadaan lemas, rambut teracak-acak, tubuh hangat basah karena keringat, bugil dan putih, Emi semakin terlihat merangsang.
Saya lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 malam. Jadi kami sudah bercinta, bergelut, bersetubuh selama 5 jam. Nah, teman-teman netter, saya ingin ulangi kalimat saya di awal cerita ini. Siapa bilang bercinta dengan orang gemuk memuakkan dan melelahkan. Masih nggak percaya? Kalau begitu beri komentar atas kisah saya ini.

TAMAT

Comments are closed.