Nikmatnya Bercinta

Pengalaman ini terjadi kira-kira dua tahun yang lalu waktu aku masih aktif jadi wartawan di sebuah tabloid kuning di Jakarta. Pengalaman yang menyenangkan sekaligus memprihatinkan. Betapa tidak, ternyata kehidupan malam di Jakarta sudah sedemikian parahnya.
Saat itu, Herwin, salah satu kontributor berita yang banyak mempunyai kenalan kalangan jetset mengajakku untuk mengikuti sebuah ‘pertemuan’ sekaligus menyaksikan sendiri dan melakukan peliputan terselubung. Wah, kala itu aku masih baru ditugaskan untuk peliputan semacam ini. “Pokoknya ntar lu diem aja deh, ngikut gue aja, ” begitu saran Herwin, “..jam tujuh gue jemput, lu kudu udah siap!” Aku tersenyum sambil dalam hati berharap agar malam segera tiba. Pengalaman baru nih.
Tak terasa aku sudah duduk manis dalam BMW Herwin. Aku banyak diam. Herwin terus saja bicara. Ia tampak amat antusias. Senyum tak lepas dari wajah indonya. Ia memang keturunan Jerman. Tubuhnya tinggi tapi agak kurus. Cukup tampan.
Mobil perlahan menikung menuju sebuah perumahan elit di kawasan pinggir kota. Beberapa kali berbelok hingga ke sebuah rumah teramat mewah bergaya mediterranian. Dua orang bertubuh gempal menghampiri. Sambil menurunkan kaca mobilnya, Herwin melambai. Kedua penjaga itu kemudian tersenyum seakan mahfum. Rupanya mereka sudah sering bertemu. Kami berdua keluar mobil, salah satu penjaga yang berambut keriting mengambil alih kemudi.
Kami menaiki tangga menuju meja kecil di sudut ruang tamu yang ditunggui seorang perempuan cantik dengan gaun malam dengan dada rendah hingga nampak belahan payudara putihnya. Herwin menuliskan namanya di sebuah buku tamu. Sambil menunjuk dengan kelima jari tangan kirinya, ia membisikkan sesuatu ke telinga Herwin. Si indo ini mengangguk tanda mengerti.
“Udah mulai acaranya Ren, sebagian mencar ke ruangan-ruangan. Biasa.. cari privasi.”
Aku mengangguk. Dadaku berdegup, kencang sekali. Apalagi saat kami berjalan menuju sebuah ruangan, nampaknya ruangan utama, ada dua lelaki dengan kemeja yang sedikit lusuh dan sebagian kancingnya terbuka duduk di atas sofa kulit lebar persis di tengah ruangan. Seorang perempuan dengan tanktop duduk di atas meja kaca di depan kedua laki-laki tadi. Mereka tertawa-tawa. Seorang perempuan lagi berjalan melintas dari kamar kecil. Aku tertegun sambil mataku tak lepas memandangi perempuan itu. Alamak cantiknya. Tubuhnya mungil, tak lebih dari 160 senti tingginya. Kulitnya putih bersih bak pualam. Dadanya membusung dari balik blouse putihnya yang maskulin. Kacamata bertengger di atas hidung mancungnya.
Aku perlahan mengikuti langkahnya. Entah kemana si Herwin. Aku tak lagi perduli. Si mungil ini berjalan santai menuju tepi kolam renang di mana sudah ada seorang laki-laki dengan hanya mengenakan underwear minim hitam, duduk di atas sebuah bangku kayu. Dia tersenyum mengulurkan tangan kanannya. Si cantik ini menyambut uluran tangannya. Sambil mengucapkan beberapa patah kata, ia mencium laki-laki itu pada bibirnya.
Berikutnya sungguh tak terduga, perempuan itu merogoh sesuatu di balik underwear laki-laki itu dan menarik keluar batang pelirnya. Sesaat kemudian sambil berjongkok ia mengulum barang yang masih terkulai itu. Ia menghisapnya dengan penuh kelembutan. Perlahan pelir itu membesar dan menegang. Si laki-laki yang beruntung itu menengadah sambil mengerang. Pasti keenakan.
“Asyik ya..”, Herwin yang tiba-tiba menghampiriku berkomentar.
Ia menyodorkan segelas minuman ringan padaku. Di sampingnya, sang resepsionis tadi menggandeng mesra.
“Ayo, daripada nganggur gabung gue aja,” ajak Herwin.
Aku tersenyum sambil mengikuti langkah sepasang sejoli itu.
Kami menuju ke sebuah kamar dengan interior khas romawi. Sebuah ranjang lebar dengan empat pilar di masing-masing sudutnya, dibalut kelambu di keempat sisinya.
“Saya Anne, kita belum kenalan kan..” sapa si resepsionis.
Aku mnyambut tangannya yang terulur, “Rendi,” sahutku pendek.
Mataku seakan tak bisa lepas dari belahan dadanya yang amat rendah itu. Nampaknya Anne maklum. Ia nampaknya tipe perempuan yang to the point. Dilucutinya gaun ungunya yang membuatnya nampak seksi itu. Kini bahkan makin seksi, dengan bra minim dan G-stringnya.
Ia lalu merebahkan tubuh langsingnya di atas ranjang. Herwin yang nampak bernafsu melepasi seluruh pakaiannya. Kemaluannya sudah mengeras. Hmm, besar juga. Anne bangkit menjemput Herwin lalu mengusap-usap ‘cerutu Kuba’ miliknya. Dijilatinya lembut sebelum kemudian dihisapnya. Aku gelisah. Kulepas satu persatu pakaianku. Anne memberi kode untuk aku ikut bergabung. Begitu aku sudah berdiri sejajar Herwin, Anne meraih zakarku yang tegang. Tak sebesar punya Herwin memang. Tapi Anne nampaknya tak perduli.
Ia menikmati tiap kulumannya pada kemaluanku. Aku pun demikian, bahkan lebih menikmati. Rongga mulutnya yang hangat kadang menyempit dan menyedot pelir mungilku. Uuuhh.. tak kuasa aku menahan erangan. Lidahnya seakan tahu detil daerah sensitf milikku. Sesekali ia mengulum kedua butir buah zakarku. Ahh..asyiknya. Hanya beberapa saat kemudian aku tak bisa menahan nikmatnya gairah. Aku menegang sesaat kala batangku berdenyut memompakan mani ke mulut Anne yang menganga. Ia terpejam. Mata sipitnya tinggal segaris makin menampakkan etnis tionghoanya.
Dengan lunglai aku meninggalkan Anne yang masih melanjutkan ‘tugas’ melayani nafsu Herwin. Aku mengamati saja tingkah polah mereka. Herwin mendorong pelan tubuh Anne. Anne tersenyum sambil melepaskan branya. Wahh..payudaranya sungguh indah. Membusung seakan menantang dengan puting yang tegang. Herwin menjilati puting merah jambu itu. Anne merintih. Kedua belah pahanya membuka seakan siap menerima kemaluan Herwin. Tapi Herwin masih belum puas mengulum dan meremas dada kenyal Anne. Anne menarik-narik zakar Herwin pelan. Sementara tangan lainnya menekan pantat Herwin agar makin dekat pada selangkangannya. Ia mengerang dan melenguh panjang pendek. Antara nafsu dan geli.
Akhirnya Herwin mengalihkan aktivitasnya pada selangkangan Anne. Kemaluan Anne sekilas amat bersih. Rambut di kelaminnya hanya tipis saja. Terlihat semu merah di sekitar selangkangan itu. Amat menggairahkan. Aku jadi terangsang lagi. Bibir kemaluannya sedikit menggelambir keluar belahan kemaluannya. Herwin menguaknya lalu mulai menjilatinya. Ia sedikit berkonsentrasi pada klitorisnya. Anne mnggelinjang. Meliuk-liuk bak penari ular. Aku makin terangsang.
Anne menjambak rambut herwin lalu memohon untuk segera dimasuki. Herwin dengan patuh dan sigap mulai beraksi. Dihunjamkan pelan kemaluannya pada belahan daging bersemu merah itu.
“Ooohh..,” erang Anne.
Herwin mengocok liang peranakan Anne dengan santai. Kadang dipercepat, kadang melambat. Anne nampak menikmati. Sesekali pahanya dinaikkan saat ia merasa tak kuasa menahan geli. Herwin melepas kemaluannya, lalu Anne membalikkan tubuh pucatnya. Diangkatnya sedikit bokongnya yang padat. Herwin kembali menyelipkan kelaminnya yang basah oleh lendir Anne. Anne kembali mengerang panjang. Sodokan demi sodokan Herwin membuatnya makin tak bisa mengendalikan diri. Apalagi Herwin mengocoknya dengan goyang memilin-milin dan menjelajah ke segala penjuru. Ia memang sudah amat lihai. Padahal umurnya baru akan 25 tahun. Sementara Anne mungkin masih belum 20.
Saat aku beranjak hendak melihat situasi di luar, mendadak pintu terbuka. Sesosok mungil mengintip dari balik kacamatanya. Si cantik berkacamata di tepi kolam tadi rupanya.
“Kamu nganggur?” tanyanya.
Aku sedikit bingung. Ia memberi kode dengan jemari lentiknya. Aku mengikutinya. Tubuh mungil telanjang itu amat menarik nafsuku. Sesampai di tepi kolam, ia menyuruhku masuk ke kolam. Sementara ia menaruh kacamatanya di atas meja kayu. Aku menuruti perintahnya. Dingin memang. Tapi apalah artinya bila imbalannya gadis mungil yang imut ini.
Ia mengangkangkan pahanya di tepi kolam memperlihatkan kemaluannya yang tak kalah menariknya dibandingkan punya Anne. Sama-sama bersemu kemerahan kontras dengan putihnya kulit si empunya kemaluan. Namun yang ini lebih berambut. Seksi. Aku menarik-narik bibir kemaluannya dengan bibirku dengan cara menjepitnya keluar. Ia merintih. Aku melirik
ke atas memandang wajah cantiknya. Ia memandangku balik. Tersenyum. Lalu ia beringsut memasukkan tubuh sintalnya ke dalam kolam. Aku memeluknya. Kurasakan genggaman lembut pada kelaminku yang keras. Aku bergegas naik ke tepi kolam. Ia masih berusaha menggenggam pelirku. Lalu ia menjilati batangku dari pangkal bagian bawah hingga ke ujung.
Ahh..enaknya. Beberapa kali ia melakukan hal serupa sebelum kemudian ia menyapukan ujung lidahnya pada kepala kemaluanku. Oh, makin tak kuasa aku menahan gairah. Mulutnya lalu mengulum kelaminku. Kali ini ia menyedotnya. Himpitan hangat rongga mulutnya amat nyaman bagiku. Lidahnya menekan-nekan beberapa bagian batang zakarku. Terkadang ia menghisapnya lalu memilin-milin penuh gairah. Nafsu yang amat sangat.
Berkali-kali ia menyibakkan rambutnya yang hitam sebahu. Kemudian aku yang tak tahan kembali menceburkan diri ke kolam. Ia dengan bersemangat menggenggam pelirku. Genggaman itu menuntun zakarku untuk menyelinap dalam liang hangat yang nyaman. Aku mencium bibirnya yang tipis. Ia membalasku dengan hangat. Lidahnya menyapu hampir tiap sudut mulutku. Sebaliknya aku menjelajahi seluruh rongga vaginanya yang nikmat. Di antara kuluman mulutnya kudengar erangan gairahnya. Sesaat ia melepaskan kuluman lalu tersengal-sengal menahan nafsunya.
Lumayan lama kami bercinta dalam air. Tak terasakan lagi dinginnya kolam. Yang ada hanya nikmat tak terlukiskan. Kali ini aku beraksi dari belakang. Ia menghadap dinding kolam. Aku tak melepas kesempatan menikmati payudaranya yang montok. Kenyal dan amat kencang. Sekitar 34B sizenya. Kedua tanganku meremas dan membelainya lembut. Putingnya yang kemerahan kupilin-pilin. Ia makin menjadi, menggelinjang. Erangannya mengeras. Aku makin bernafsu. Makin kupercepat frekuensi kocokan. Ia menggeliat-geliat. Nafasnya menderu, hingga sesaat aku merasakan klimaks diikuti muncratnya maniku pada rongga vaginanya. Ia berbalik menciumku sambil berucap, “Thanks, you’re one of the best!”.
Secepat itu ia langsung beranjak naik lalu berlari kecil keluar. Sejak itu hingga akhirnya aku dan Herwin pulang tak kulihat lagi sosok mungil itu.

TAMAT

Comments are closed.